Oleh: Prof. Dr. Ir, Endang Sutriswati Rahayu, M.S.
Aspergillus flavus dikenal sebagai jamur penghasil aflatoksin yang merupakan mikotoksin paling berbahaya. Bahkan nama aflatoksin diambilkan dari huruf a yang berasal dari kata aspergillus dan fla dari kata flavus. Kasus aflatoksin ini mulai dikenal pada tahun 1960, saat tejadi kematian besar-besaran pada ternak, terutama kalkun, ayam, bebek. Dari hasil pengamatan pada karkasnya membuktikan bahwa beberapa jaringan telah mengalami kerusakan dan terjadi akumulasi darah. Terjadi pembengkakan liver secara bervariasi, dan warna liver juga berubah ke kuning pucat. Beribu-ribu ternak telah mati pada kasus ini. Hasil penyelidikan membuktikan bahwa, penyakit ini tidak disebabkan oleh mikroorganisme patogen maupun virus, namun oleh substansi beracun yang mencemari pakan yang dihasilkan oleh sejenis mold yaitu Aspergillus flavus. Substansi yang sangat toksik ini selanjutnya disebut sebagai aflatoksin.
Aspergillus flavus memiliki saudara dekat A. parasiticus yang juga dikenal sebagai penghasil aflatoksin, dan Aspergillus oyzae dan A. sojae yang digunakan sebagai starter untuk berbagai makanan fermentasi. Di Indonesia contoh makanan fermentasi yang menggunakan starter A. oryzae atau A. sojae adalah di dalam proses pembuatan kecap, kalau di Jepang kedua spesies mold ini dipakai untuk menghasilkan shoyu (soy sauce) juga sake.
Keempat spesies yang bersaudara ini, memang agak sulit dibedakan apalagi kalau hanya dengan karakter morfologi, kecuali memang ahli dibidang ini. Upaya membedakan berdasarkan karakter molekuler juga sulit dilakukan. Disertasi S3 (ESR) juga paper-paper yang lain, membuktikan bahwa DNA-DNA homologi ke empat species ini kesamaannya sangat tinggi, yaitu di atas 80%, sehingga ke-empatnya seharusnya dijadikan satu spesies dengan 4 subspesies. Pemberian nama taksonomi keempat spesies secara benar ini juga telah dibahas berkali kali di workshop ICFM (International Commission on food Mycology). Namun sampai saat ini nama yang ada tetap dipakai.
Pertanyaannya karena ke-4 spesies ini bersaudara dekat, dan A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai penghasil aflatoksin yang sangat membahayakan …… Bagaimana dengan dua spesies lainnya, yaitu A. oryzae dan A. sojae? Apakah keduanya juga mampu menghasilkan aflatoksin? Bagaimana dengan produk fermentasinya, apakah aman?
Telah dilakukan survei, khususnya di Jepang, bahwa makanan fermentasi yang dihasilkan oleh A. oryzae dan A. sojae bebas dari aflatoksin. Bagaimana penjelasannya? Mengapa spesies Aspergillus oryzae dan A. sojae yang bersaudara dekat dengan spesies penghasil aflatoksin ini tetap aman digunakan untuk fermentasi bahan pangan?
Beberapa paper menjelaskan bahwa untuk mensintesis aflatoksin melibatkan sekitar 23 enzim lebih dari 15 produk intermediate, serta 25 gen (kluster dg 70 kb). Gen-gen tsb tetap terdeteksi pada empat spesies bersaudara tsb. Namun ternyata telah terjadi mutasi pada A. oryzae dan A. sojae. Terjadi kerusakan khususnya pada gen yang mengatur sintesis aflatoksin (aflR) sehingga spesies oryzae dan sojae tidak mampu menghasilkan aflatoksin. Mutasi ini terjadi pada kedua spesies yang telah bertahun-tahun (puluhan bahkan ratusan tahun) digunakan untuk starter proses fermentasi. Proses fermentasi yang terkendali ternyata dapat menjinakkan spesies ini, sehingga kemampuan menghasilkan toksin yang berbahaya, yaitu aflatoksin tidak dimiliki lagi. Kedua spesies ini menjadi jinak, sedang 2 saudara lainnya yang berkeliaran di alam bebas dan mengontaminasi berbagai produk pangan, khususnya kacang dan jagung, tetap berbahaya.
Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin di antara berbagai jenis mikotoksin lainnya yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Bahaya Mikotoksin dan Cemaran Kimia akan menjadi topik Webinar Series Keamanan Pangan ke-6, yang diselenggarakan hari Jumat 4 September 2020 oleh Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM bekerja sama dengan APKEPI. Silahkan join.