KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Suatu hari di Yogyakarta pada 1973, Endang S. Rahayu sedang berpikir tentang kelanjutan studi ke perguruan tinggi.
Perempuan yang akrab disapa Trisye ini mengatakan, waktu itu, ibunya ingin ada salah satu dari lima anaknya yang menjadi bidan.
Harapan sang ibu timbul lantaran pekerjaannya sebagai perawat di Rumah Sakit Bethesda.
Namun, Trisye muda enggan untuk masuk kuliah yang berkaitan dengan kesehatan.
Pasalnya, sang kakak perempuan, Endang Sutristi, telah menjadi dokter dan kemudian dosen di FK UGM.
Sedangkan sang ayah menyarankan agar Trisye mengikuti jejak kakak perempuannya yang berkuliah di Fakultas Kedokteran atau di Fakultas Farmasi.
Hanya saja, Trisye tetap bersikukuh pada pendiriannya.
Dalam situasi ini, kakak laki-laki Trisye, Bambang Sutrisno, bilang kepada sang adik bahwa ada fakultas baru di UGM tentang teknologi pertanian.
“Fakultas baru ini isinya tentang pangan (teknologi hasil pangan). Udah kamu daftar di situ saja,” ucap Trisye menirukan ucapan sang kakak, saat ditemui KAGAMA beberapa waktu lalu.
Walau begitu, Trisye tetap mencoba memasukkan kedokteran dan farmasi ke dalam borang pendaftaran, sebagaimana nasihat sang ayah.
Perempuan kelahiran 22 Februari 1954 ini pun kemudian mengikuti alur penerimaan mahasiswa baru UGM kala itu, yakni tes.
Setelah dinyatakan lulus tes, Trisye menempuh proses wawancara dan ditanya tentang kesanggupan memberikan dana sumbangan untuk kampus.
Dia sadar orang tuanya tidak dapat membantunya dengan biaya besar.
“Saya bisanya membayar Rp25 atau 50 ribu kalau diterima di Kedokteran atau Farmasi. Tapi kalau di TP, Saya mau membayar Rp15 ribu saja,” kenangnya.
Trisye mengatakan, nominal Rp15 ribu pada dekade itu tegolong sudah amat mahal, apalagi Rp25 atau 50 ribu.
Usai wawancara, Trisye coba bertanya kepada teman-temannya perihal nilai sumbangan yang bakal diberikan kepada kampus.
Tak dinyana, besaran sumbangan yang hendak diberikan teman-teman Trisye jauh di atas dirinya.
“Teman-teman Saya ada yang ratusan ribu rupiah, bahkan ada yang Rp500 ribu,” tutur Trisye.
“Lha Saya cuma mau membayar Rp50 ribu, jadi ya mana mungkin diterima (di kedokteran),” terangnya dengan tersenyum.
Ibu satu orang anak ini pun menyadari, takdir memang telah memilihnya untuk masuk ke Teknologi Hasil Pangan (sekarang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian) UGM.
Selain itu, berkuliah di THP tidak membuat Trisye terbebani.
Sebab, keinginan sang ibu yang ingin salah satu anaknya berkuliah di bidang kesehatan telah dipenuhi oleh kakak perempuannya.
Sumbangan Rp15 ribu pun tak ubahnya sebagai tiket, yang kemudian mengantarkan Trisye menjadi dosen dan peneliti TPHP UGM sejak 1980 hingga sekarang. (Tsalis)
Sumber: http://kagama.co/tiket-rp15-ribu-yang-antarkan-prof-endang-s-rahayu-ke-teknologi-pertanian-ugm