stunting
Pada periode Juli – Desember 2021, Tim Peneliti PSPG yang diketuai oleh Sekretaris PSPG, Dr. dr. Emy Huriyati, M.Kes. dan beranggotakan Ema Wahyu Ningrum, SST, S.Kep, Ns, M.Kes. dan Fahmi Baiquni, S.Psi., M.P.H. melaksanakan penelitian berjudul “Maternal Health Literacy Ibu Hamil Berpendapatan Rendah tentang Stunting: Studi Kasus Eksploratoris di Kabupaten Purbalingga”. Penelitian ini didanai oleh Riset PRN Revitalisasi Ketahanan Pangan dan Gizi (Penanganan Stunting).
Kejadian stunting lebih beresiko pada keluarga dengan pendapatan rendah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi stunting adalah dengan mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhan literasi ibu hamil tentang stunting, sehingga ibu mampu mengakses, memahami, mengevaluasi informasi tentang stunting hingga mampu membuat keputusan untuk diri dan janin yang dikandungnya Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Purbalingga, dimana terdapat prevalensi Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan stunting yang relatif tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi sarana untuk meningkatkan akses informasi terkait stunting kepada perempuan, khususnya ibu hamil.
Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan masa awal kehidupan saat terbentuk janin di dalam kandungan (270 hari) hingga dua tahun pertama kehidupan (730 hari) yang biasa disebut dengan golden period. Saat di dalam kandungan, organ-organ penting seperti otak, jantung, hati, ginjal, paru-paru, tulang mulai terbentuk dan berkembang dilanjutkan masa dua tahun setelah kelahiran, anak mulai beradaptasi dengan lingkungannya serta merupakan puncak perkembangan fungsi kognitif anak. Masa 1000 HPK sangat penting karena pada masa itu kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak sangat pesat dan riskan sehingga berdampak terhadap kualitas dan kesehatan generasi pada masa yang akan datang. Pada masa 1000 HPK asupan gizi perlu diperhatikan mulai dari calon pengantin, calon ibu, janin hingga anak. Apabila asupan gizinya kurang maka berpotensi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, contohnya timbul penyakit tidak menular, pertumbuhan kognitif terhambat sehingga kurang cerdas dan kompetitif, gangguan pertumbuhan tinggi badan sehingga bersiko pendek bahkan stunting (Sudargo, 2018). Status gizi perempuan baik sebelum hamil hingga menyusui juga perlu diperhatikan karena akan memengaruhi status gizi anaknya kelak. Selama masa kehamilan, ibu hamil disarankan untuk mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, mengonsumsi tablet tambah darah (TTD), mendapatkan informasi yang lengkap tentang ASI dan manfaatnya, perawatan bayi, menyiapkan makanan pendamping ASI, imunisasi. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan pada kehidupan 730 hari selanjutnya, yaitu asupan nutrisi yang bergizi, beragam, seimbang, pencegahan penyakit dan imunisasi, deteksi dan stimulasi tumbuh kembang anak. (Anonim A, 2020)
Seperti yang telah kita ketahui, stunting menjadi masalah yang luar biasa dan dalam dua tahun terakhir merupakan masalah yang diprioritaskan oleh pemerintah. Sebenarnya seberapa besar pentingnya? Jika kita tinjau bila orang stunting paling tidak dalam waktu 20 sampai 30 tahun yang akan datang anak-anak menjadi suatu generasi dengan kualitas yang kurang baik. Oleh karena itu, diusahakan generasi ke depan semakin baik dan unggul. Stunting bukan hanya anak dengan perawakan pendek, tetapi juga disebabkan oleh kondisi kesehatan yang kurang optimal yaitu kekurangan gizi dan bersifat jangka panjang terutama pada 100 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) atau golden period. Seribu HPK merupakan masa yang sangat penting dan kritis mulai dari perkembangan di dalam rahim dan dua tahun pertama setelah bayi dilahirkan karena pada masa itu ada kejadian sangat penting yaitu pertumbuhan dan perkembangan dari orga-organ utama terutama perkembangan otak yang nantinya mempengaruhi kepandaian dan kognitif anak tersebut.
Faktor resiko terjadinya stunting karena kondisi nutrisi sebelum hamil, kondisi nutrisi saat hamil, terjadinya kehamilan pada usia remaja putri (rematri), adanya interval kelahiran yang terlalu dekat, pertumbuhan saat di dalam kandungan terganggu sehingga lahir dalam kondisi kecil, bayi BBLR, kondisi infeksi pada bayi. Sehingga dapat kita sarikan faktor terjadinya stunting yaitu karena pertumbuhan di dalam rahim terlambat, nutrisi pertumbuhan yang tidak adekuat, dan adanya infeksi.
Berikut ini upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI guna mencegah stunting di Indonesia:
1. Pemberian TTD (Tablet Tambah Darah) bagi para remaja putri
2. Melakukan pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil guna mencukupi kandungan gizi dan zat besi pada ibu hamil.
3. Pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan seperti telur, ikan, ayam, daging dan susu.
Indonesia sebagai negara tropis tidak dapat terhindar dari serangan jamur benang (mold) beserta mikotoksin yang dihasilkan, diantaranya adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Istilah aflatoksin, a berasal dari kata Aspergillus dan fla dari kata flavus. Aspergillus flavus dikenal sebagai penghasil aflatoksin yang utama. Toksin yang banyak mencemari produk pertanian kita ini tetap stabil dengan berbagai proses pengolahan termasuk dengan panas. Penerapan pasca panen, penggudangan, serta rantai pasok yang baik merupakan kunci untuk meminimalkan toksin ini dalam produk pangan.
Stunting yang diartikan sebagai individu yang memiliki tinggi badan lebih pendek dari pada umumnya, merupakan salah satu akibat dari malnutrisi. Sedang malnutrisi sendiri dapat diartikan sebagai kurang gizi yang berakibat pada stunting yaitu pendek, atau wasting yaitu kurus, maupun over gizi yang berakibat pada obesitas. Kondisi stunting di Indonesia memang masih memprihatinkan, dari data resmi yang ada, persentase anak stunting masih berkisar antara 38%. Bahkan Indonesia menempati posisi terburuk ke 3 di negara Asia, setelah Timor Leste dan India.